Senin, 06 Mei 2019

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KLASIK

      Kontribusi kaum Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif. Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Josep Schumpeter, sama sekali mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).
      Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal ini sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Tokoh-tokoh Pemikiran Ekonomi Islam Klasik

1. Zaid bin 'Ali ( 10-80 H/699-738 M)
      Zaid Bin ʻAlī memiliki pandangan bahwa uang akan menghasilkan sesuatu melalui perniagaan. Oleh sebab itu pandangannya terhadap transaksi jual beli secara kredit dengan harga lebih tinggi adalah sah karena yang terpenting adalah terwujudnya saling riḍā diantara kedua belah pihak. Ia hanya menganggap bahwa keuntungan dari penjualan secara beransur merupakan murni bagian dari perniagaan dan tidak termasuk ribā dan merupakan jawaban dari permintaan pasar. Abu Zahra menyatakan bahwa keputusan Ẓaid Bin ʻAli adalah sah. Karena ia memisahkan antara harga dan jangka waktu, apabila masa yang diambil lebih panjang maka harga akan lebih tinggi. Hal ini menjadi dasar penerapan konsep jual beli kredit dalam memenuhi keperluan bagi seluruh masyarakat. Asas penetapan akad harus diambil dari ayat al-Qur‟ān dan al-Ḥadth sebagai asas utama. Tetapi pada aktivitas ekonomi merujuk kepada dasar keadilan dan keseimbangan dalam memutuskan segala perkara.
2. Abū hanifah (80-150 H /699 -767 M)
Selain dikenal sebagai seorang imam mazhab Ḥanafī, Abū Hanīfah merupakan pakar yang telah memberikan pemikiran dalam perkembangan ekonomi Islam. Salah satu pemikirannya adalah tentangsalam, yaitu bentuk transaksi dimana pihak penjual dan pembeli setuju bila barang akan dikirimkan setelah dibayar secara tunai pada waktu kontrak disepakati. Abū Ḥanīfah juga memberikan perbaikan atas konsep salam karena sering terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli. Beliau mencoba menghilangkan pertikaian dengan memberikan penjelasan mengenai kontrak ini, seperti menjelaskan jenis komoditi, kualiti, kuantiti, waktu dan tempat pengiriman, dan dia juga mewajibkan untuk memenuhi persyaratan bahwa komoditi harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan pengiriman. Siddiqi  menambahkan hasil pemikiran Abū Ḥanīfah yaitu murābaah(penjualan dengan margin dari harga beli yang disepakati dengan beberapa tambahan demi menciptakan keadilan. Pemikiran Abu Hanifah terhadap zakat membawa konsep yang masih digunakan sehingga saat ini, yaitu mewajibkan zakat pada perhiasan emas dan perak. Orang yang berhutang tidak diwajibkan membayar zakat  jika hutangnya lebih banyak daripada harta yang dimiliki. Dalam kerjasama hasil pertanian ( Muzāraʻah), kebijakan Abū Ḥanīfah meninggikan nilai kemanusiaan dengan melindungi pekerja lemah, apabila tanah tidak dapat menghasilkan apapun maka petani dibebaskan dari pembagian kerugian. Dalam isu wakaf, Abu Hanifah berpendapat bahwa benda wakaf masih tetap milik
wāqif. Wakaf dan pinjam meminjam memiliki kedudukan yang sama, jadi benda wakaf dapat dijual, diwariskan dan di hadiahkan kepada pihak lain, kecuali wakaf untuk masjid dan wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat dan wakaf yang di ikrarkan.
3. Abū Yūsuf (113-182 H/ 802-881 M)
Pemikiran Abū Yūsuf lebih menekankan tentang perpajakan dan tanggung  jawab negara. Pemikirannya tertulis dalam buku al- Kharāj yang ditulis pada masa Khalifah Harun al-Rash īd dan kitab ini dijadikan rujukan oleh para pakar ekonomi Islam Modern kemudian di apikasikan. Pemikiran Abū Yūsuf dalam al- Kharāj, antara lain: (1) Segala aktivitas ekonomi, sarana serta kemudahan yang dirasakan manfaatnya oleh masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah, namun jika manfaat dari segala sarana dan kemudahan itu hanya dapat dirasakan oleh pihak tertentu, maka orang tersebut dapat dikenakan biaya. Kemudian, demi terciptanya kesejahteraan masyarakat, negara berhak untuk membebankan pajak fa‘i ushur, jizyah dan lain-lain sebagai pendapatan negara. (2) Perpajakan, Abū Yūsuf mengganti praktik misāhah ( fixed tax) denganmuqāsamah ( proportional tax), dikarenakan hal tersebut akan menindas dan mendzalimi rakyat miskin, dan menentang sistem Qābalah. Dalam mekanisme harga, ia melarang penguasa menentukan harga suatu barang, karena menurutnya keadilan hanya terjadi jika harga ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar saja. Penjelesan Abū Yūsuf dalam mekanisme pasar dan nasihat kepada pemerintah tidak disertakan dengan pembahasan yang terperinci. Sejauh ini pemikiran Abū Yūsuf dijadikan rujukan dalam menerapkan konsep perpajakan di beberapa negara dunia. Ia telah menawarkan konsep maslahah yang shumul untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan.
4. Al Ghazālī (451-505 H/ 1055- 1111 M )
      Wawasan dan pengetahuan Al-Ghazālī sangatlah luas, terutama tentang evolusi pasar, peranan uang dan penentuan kebijakan. Perhatian Al-Ghazālī tertumpu kepada perilaku individu yang dibahas secara rinci berdasarkaan al-Qurān, al-Ḥadīth dan Ijma„. Ia memiliki padangan bahwa setiap manusia harus memenuhi keperluan hidupnya dan melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah. Al-Ghazālī memberikan peringatan bahwa pemimpin harus menjamin kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Prinsip keadilan, apabila ada rakyat yang tidak mampu dalam membiayai kehidupannya, maka seluruh rakyat berkecukupan harus membantu meringankan bebannya. Pandangan Al-Ghazālī terhadappajak, menginspirasi dalam penentuan monetary policy pada masa modern. Al-Ghazālī tentang pertukaran barang (barter ), tidak efisien sistem barter dan kepentingan dan fungsi uang. Rafiq al-Mișrī memberikan satu tanggapan pada fungsi uang pada pemikiran Al-Ghazālī ialah sebagai dasar nilai, media pertukaran,
dan nilai simpanan. 


EKONOMI POLITIK GLOBAL

Defenisi Ekonomi Politik Global

       Menurut Steurt, Ekonomi Politik mengacu pada studi antar disiplin ilmu yang mempelajari ekonomi, politik dan hukum yang menjelaskan bagaimana institusi politik, lingkungan politik dan sistem ekonomi ( baik kapitalis, komunis atau campuran keduanya), saling mempengaruhi satu sama lainnya. Pada tahun 1776, Adam Smith mendefinisikan ekonomi politik sebagai cabang dari ilmu pengetahuan dari seorang negarawan atau legislator dan pedoman dari pengelolaan ekonomi nasional. Pada abad ke-21, istilah ‘ekonomi politik’ didefinisikan dengan tiga pengertian yang berbeda. Untuk ahli ekonomi dan akademisi, ekonomi politik merujuk pada aplikasi dari pelbagai jenis tingkah laku manusia. Beberapa kalangan akademisi menggunakan istilah tersebut untuk menggambarkan upaya yang dilakukan berdasarkan teori ekonomi untuk menjelaskan tindakan sosial. Sementara itu, ahli politik menganggap bahwa ilmu politik tidak dapat dipisahkan dari ilmu lain, termasuk ekonomi. Oleh karena itu, kelompok ahli politik mendefinisikan ekonomi politik sebagai hubungan atau interaksi antara ekonomi dan politik.
      Secara keseluruhan, Ekonomi Politik Internasional adalah studi tentang interaksi antara ekonomi atau pasar dengan politik atau negara di arena internasional.

Pendekatan-pendekatan dalam Ekonomi Politik Global
      Menurut Gilpin (1987), studi Ekonomi Politik Internasional dapat dikaji melalui tiga macam pendekatan, yaitu :
1)  Liberalisme
2)  Marxisme
3)  Nasionalisme


1) Liberalisme
      Liberalisme ekonomi merupakan gagasan Adam Smith dalam bukunya yang berjudul "The Wealth of Nations", di mana Smith menentang pendapat merkantilisme dan berpendapat bahwa kekayaan suatu negara tidak dapat diukur dari jumlah emas yang dimiliki namun diukur dari kemampuan negara tersebut memenuhi kebutuhan barang dan jasa penduduknya. Jika liberalisme politik menekankan pada kebebasan dan kesetaraan antar individu, maka liberalisme ekonomi menekankan pada pasar bebas dan minimnya intervensi pemerintah dalam perdagangan sehingga aktor sentralnya adalah individu. Hal ini dikarenakan menurut pendekatan liberalisme, ekonomi dan politik internasional tidak benar-benar dapat disatukan karena tujuan utama dari dilaksanakannya kegiatan komersil adalah untuk meningkatkan keuntungan individu, sehingga pemerintah hanya bertugas sebagai pembuat kebijakan dan instrumen-instrumen politis lainnya, serta pengawas. Smith mengemukakan bahwa pasar mampu mengendalikan, memulihkan, dan menyeimbangkan dirinya sendiri sesuai situasi dan kondisi yang ada atau biasa disebut dengan invisible hands sehingga peran pemerintah tidak terlalu signifikan. Jackson dan Sorensen (1999), mengemukakan bahwa perluasan kapitalisme global yang melampaui batas-batas negara berdaulat dapat meningkatkan kesejahteraan manusia dan sistem ekonomi liberal bersifat positive-sum game sehingga seluruh aktor akan memperoleh keuntungan di tiap kerjasama.
2) Marxisme
      Marxisme merupakan asumsi Karl Marx bahwa ekonomi berada di atas politik sehingga perekonomian kapitalis merupakan persaingan eksploitatif antara kelas borjuis, yaitu kelas pemilik modal, dan proletar, yaitu kelas buruh (Jackson dan Sorensen, 1999). Karl Marx percaya bahwa lambat laun jumlah pemilik modal akan bertambah sehingga tingkat kompetitisi yang tinggi ini dapat menyebabkan krisis ekonomi di kemudian hari. Krisis ekonomi tidak hanya berhasil untuk memperlebar jarak antara borjuis dengan proletar, namun juga menjadi sarana untuk "menyaring" pemilik modal sehingga hanya akan tersisa aktor-aktor kuat (Gilpin, 2001). Selain itu, demi memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, pemilik modal atau kapital harus memanfaatkan secara maksimal buruh yang telah dibayar sehingga hal ini menjadi salah satu cikal bakal terjadinya eksploitasi besar-besaran. Marxisme sepakat dengan merkantilisme dalam menganggap bahwa perekonomian bersifat zero-sum game dikarenakan tidak ada hasil pasti dari ekonomi itu sendiri. Fokus marxisme pada mekanisme produksi barang oleh manusia demi eksistensi sebagai aktivitas inti kemudian membuat marxisme dikenal juga dengan materialisme.
3) Nasionalisme
      Nasionalisme merupakan gagasan John Keyness yang dapat mempersatukan gagasan Adam Smith dan Karl Marx (Gilpin, 2001). Keyness mencoba untuk menjembatani anggapan mengenai peran pemerintah menurut Smith dan Marx, bahwa meskipun pasar dapat mengendalikan dirinya sendiri sesuai teori invisible hand, namun pemerintah tetap memiliki andil dalam pembuatan kebijakan dan pengawasan sehingga keduanya saling berkaitan. Pada awalnya, nasionalisme merupakan pendekatan turunan dari merkantilisme dan ideologi realisme sehingga jembatan yang kemudian dibangun oleh nasionalis adalah bahwa kekuatan negara merupakan kekuatan utama dan ekonomi merupakan pendorong dari kekuatan negara. Nasionalisme sendiri menekankan pada industrialisasi, faktor ekonomi, dan perjuangan tiap negara dalam memperoleh sumber daya ekonomi sebagai bagian utama dari sistem internasional sehingga unit analisis utamanya adalah negara. Oleh karenanya menurut pendekatan nasionalisme, efek spillover terhadap ekonomi disebabkan oleh berkembangnya industri, dan bahkan idustri memiliki peran penting dalam mempengaruhi kekuatan sentral militer dan keamanan nasional negara. Fokus nasionalisme pada industrialisasi ini merupakan salah satu penyebab dasar hubungan ekonominya bersifat zero-sum game, dikarenakan para ekonom menganggap bahwa industrialisasi merupakan faktor utama terjadinya krisis di kemudian hari.