Analisis yang dibuat Marx untuk meramal kejatuhan sistem kapitalis bertitik tolak dari teori nilai kerja dan tingkat upah, oleh para pakar Neo-Klasik teori-teori tersebut dipelajari kembali secara mendalam.Dari sekian banyak pakar-pakar Neo-Klasik, paling kurang ada empat orang yang melakukan penelitian tentang hal yang sama, yaitu W. Stanley Jevons (1835-1882), Leon Walras (1837-1910), Carl Menger (1840-1921) dan Alfred Marshall (1842-1924). Stanley Jevons dari University of Manchester (Inggris) menulis Theory of Political Economi tahun 1871. Karl Menger dari Austria menulis: principles of Economics in Germany pada tahun yang sama. Leon Walras dari sekolah Lausanne (Swiss) menulis : Elements of Pure Economics pada tahun 1874. Alfred Marshall dari Cambridge University (Inggris) sebetulnya sudah menulis Principles of Economics pada awal tahun 1870-an. Akan tetapi, ia termasuk orang yang sangat hati-hati dalam memberikan pendapat baru, sehingga buku tersebut baru diterbitkan dua puluh tahun kemudian, yaitu tahun 1891.
Walaupun mereka melakukan penelitian secara terpisah, dari hasil penelitian masing-masing mereka mengemukakan hal yang sama. Di samping kesimpulang yang dihasilkan pun sama, bahwa secara teori nilai lebih ( surplus value ) Marx tidak mampu menyepakati bahwa teori marx tersebut tidak memberikan sumbangan apa pun dalam perkembangan teori ekonomi.
A. Pendekatan Marjinal
Analisis marjinal pada intinya merupakan pengaplikasian kalkulus diferensial terhadap tingkah laku konsumen dan produsen serta penentuan harga-harga di pasar. Sejak terjadinya marginal revolution tersebut, pembahasan ekonomi semakin bersifat makro.
Konsep marjinal ini sering diakui sebagai kontribusi utama dari aliran atau mazhab Austria. Akan tetapi, jika ditelusuri ke belakang ternyata teori ini telah cukup lama dikembangkan oleh pengarang terdahulu, tepatnya oleh Heindrich Gossen. Heinrich Gossen (1810-1858) telah lama menggunakan konsep marjinal dalam menjelaskan kepuasan atau faidah (utility) daripengkonsumsian sejenis barang. Menurut Gossen, faidah tambahan (marginal utility) dari pengkonsumsian suatu macam barang akan semakin turun jika barang yang sama dikonsumsi semakin banyak. Pernyataannya ini kemudian dijadikan semacam dalil, dan lebih dikenal sebagai “hukum Gossen Pertama”. Dalam “Hukum Goseen Kedua” ia menjelaskan bahwa sumber daya dan dana yang tersedia selalu terbatas secara relatif untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang relatif tak terbatas. Karya Gossen ini baru diberi pengakuan 40 tahun setelah massanya.
B. Mazhab Austria
Para pendukung dan pemakai konsep marjinal kebanyakan berasal dari Universitas Wina (Austria). Pandangan mereka mempunyai ciri-ciri tersendiri, yaitu penerapan kalkulus dalam pengembangan teori-teori mereka dalam berbagai buku agar dimasukkan ke dalam aliran tersendiri yang disebut mazhab Austria(Austrian Scholl of Economics). Tiga tokoh utama mazhab Austria tersebut adalah Carl menger, Freidrich von Wieser, dan Eugen von Bohm Bawerk.
Karl Menger (1840-1921) menjabat sebagai profesor ekonomi di Universitas Wina dari tahun 1873 hingga 1903. Karya utamanya adalah Grunsatze der Volks Wirtschaftslehre (1871). Dalam buku tersebut Menger mengembangkan teori utilitas marjinal yang ternyata membawa pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan teori-teori ekonomi. Pada tahun 1903 kedudukan Menger di Universitas Wina digantikan oleh Friedrich von Wieser (1851-1920). Wieser dipandang sangat berjasa dalam mengembangkan teori utilitas marjinal Menger, dengan menambahkan formulasi biaya-biaya oportunitas (opportunity cost). Kedudukan Wieser kemudian digantikan kemudian digantikan pulo oleh Eugen von Bohm Bawerk (1851-1914). Kontribusi utama Bohm Bawerk adalah dalam pengembangan teori tentang modal (theory of capital) dan teori tentang tingkat suku bunga. Hal ini dapat diikuti dari bukunya Capital and Interest (1884). Karyanya yang lain juga menyangkut masalah model adalah Positive Theory of Capital (1889). Teori-teori yang dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh lain seperti Knut Wicksell, von Mises, F.A. hayek dan J.R. Hicks.
Knut Wicksell (1851-1926) mendapat pendidikan di Uppsala University (Swedia). Ia berjasa mengasimilasikan analisi keseimbangan umum Walras dengan teori kapital dan suku bunga Bohm Bawerk menjadi teori distribusi. Asimilasi kedua teori itu didasarkan pada analisis marjinal versi baru dikembangkan oleh Jevons, Walras,dan Menger. Pengaruh Wicksell terhadap pengembangan teori moneter juga sangat besar sebab ia yang pertama melihat hubungan langsng antara tingkat suku bunga dengan harga-harga. Sesuatu yang dianggap bertentangan waktu itu.
Ludwig Edler Von Mises (1881-1973) menjabat sebagai profesor ekonomi di Universitas Wina tahan 1913. Menurut Von Mises sistem harga merupakan basis paling efisien dalam mengalokasikan sumber daya. Sehubungan dengan pendapatnya tersebut tidak mengherankan jika ia sering megkritik sistem perekonomian komando. Hal itu karena sistem komamdo tidak mempunyai sistem harga. Mises berpendapat bahwa sistem ekonomi komando tidak akan dapat melembagakan sisitem harga tanpa terlebih dahulu menghancurkan prinsip politik.
Mises juga menagplikasikan teori kepuasan marjinal untuk mengembangkan teori baru tentang uang. Ia memaparkan bahwa kepuasan (utility) dapat diukur secara ordinal, tetapi tidak secara cardinal. Teori-teori lain yang dikembangkan oleh Von Mises adalah teori paritas daya beli (purchasing power parity) dan teori trade cycle.
F.A. Hayek (1899-…) menjadi direktur lembaga penelitian ekonomi di Universitas Wina dari 1927-1931. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai dosen tamu di University of Chicago (1950-1962). Ia dianggap sangat berjasa dalam mengembangkan teorisiklus perdagangan (theory of trade cycle) dari von mises, yang diintegrasikannya dengan teori capital dari Bohm Bawerk. Atas jasa-jasanya dalam mengembangkan ilmu ekonomi, hayek menerima hadiah nobel tatun 1974 bersama-sama dengan Gunnar Myrdal.
C. Mazhab Lausanne
Analisis yang lebih komprehensif tentang teori keseimbangan umum adalah pemikiran Leon Walras. Walras dapat dianggap sebagai pendiri aliran atau mazhab Lausanne. Karyanya Elements of pure economic (1878) dianggap sebagai suatu mahakarya dalam bidang ekonomi. Dalam bukunya tersebut Walras menjelaskan teori keseimbangan umum dengan pendekatan matematis.
Konsep dan model keseimbangan umum yang sudah dikembangkan Walras ini tidak diperhatikan oleh para pakar ekonomi di zamannya. Atas jasa Alfred Marshall, yang sangat menghargai konsep matematika Walras menyebabkan pemikiran-pemikiran Walras kemudian dihargai orang dengan sepantasnya. Ia kemudian dianggap sebagai pendiri dan pengembang ilmu ekonomi matematika, yang kira-kira 60 tahun kemudian dikembangkan oleh Friscch dan Tinbergen menjadi ilmu ekonometrika. Wassily Leontief kemudian mengembangkan konsep analisis input-output atas dasar matematika yang dikembangkan Walras.
D. Mazhab Cambridge
Alfred Marshall dianggap sebagai pelopor aliran atau mazhab Cambridge di Inggris. Pada tahun 1868 Marshall diangkat sebagai tenaga pengajar dalam bidang moral di Cambridge dan pada saat yang sama ia mulai mempelajari ilmu ekonomi. Dari beberapa buku yang pernah ia tulis, buku yang dianggap paling berpengaruh adalah Principles of Economics.
Marshall dianggap sangat berjasa dalam memperbarui asas dan pos-tulat pandangan-pandangan ekonomi yang dikemukakan pakar klasik dan pakar neo-klasik sebelumnya. Menurut kaum klasik, harga barang ditentukan oleh besarnya pengorbanan untuk menghasilkan barang tersebut. Dengan demkian bagi kaum klasik yang menentukan harga adalah sisi penawaran. Pendapat klasik tersebut ditentang oleh tokoh-tokoh neo-klasik seperti : Jevons, Menger dan Walras. Mereka sepakat bahwa yang menentukan harga adalh kndisi permintaan, karena mereka telah mengembagkan analisis yang sifatnya revolusioner tentang faktor-faktor yang menentukan harga-harga relatif. Ketiga tokoh tersebut tidak setuju dengan teori nilai biaya produksi (cost of production theory of value) dari kaum klasik, sebab teori ini dinilai tidak berlaku secara umum mereka secara tegas juga mengkritik teori nilai upah buruh atau (labor theory of value) Ricardo serta teori biaya produksi dari Say dan Mill . Teori biaya produksi yang ditentang itu mengatakan bahwa harga barang ditentukan oleh biaya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu barang.
Pakar- pakar neo-klasik (Jevons, Menger dan Walras) justru mengkritik pakar-pakar klasik (Adam Smith) yang gagal dalam membedakan antara utilitas total, utilitas marginal dan utilitas rata-rata. Kalum klasik (Adam Smith) mengatakan bahwa nilai suatu intan kurang bermanfaat bagi manusia walaupun memiliki nilai yang sangat tinggi, sedangkan menurut pandangan kaum neo klasik (Jevons, Menger dan Walras) nilai atau harga intan lebih tinggi bukan karena biaya untuk mendapatkannya melainkan karena utilitas marginal yang lebih besar ( utilitas dari pengkonsumsian satu unit intan terakhir yang besar). Karena itu orang mau menghargai intan yang lebih tinggi. Jadi dapat dilihat bahwasanya kaum klasik melihat harganya dari sisi produsen (dari jumlah pengorbanan yang dikeluarkan) sedangkan kaum marginalitas melihatnya dari sisi konsumen yaitu dari kepuasan marginal pengkonsumsian satu unit terakhir.
Namun dalam hal ini Marshall tidak menyalahkan kedua konsep diatas melainkan menggabungkannya , menurut beliau selain oleh biaya-biaya, harga juga dipengaruhi oleh unsur subjektif lainnya, baik dari pihak konsumen maupun dari pihak produsen.lebih jelas lagi, bagi Marshall harga terbentuk sebagai integrasi dua kekuatan dipasar : penawaran dari pihak produsen.
Perbedaan lain antara Marshall dengan kaum klasik ialah dalam pendekatan penelitian. Kaum klasik lebih banyak menggunakan metode induktif, sedangkan Marshall mengkombinasikan metode deduktif dan metode induktif . dalam hal ini, abstraksi digabung dengan realisme yang didukug oleh data statistik agar terhindar dari angan-angan. Banyak yang mengaui bahwa teknik analisis marginal Marshall jauh lebih unggul dibandingkan dengan teknik-teknik analisis yang dilakukan oleh paar-pakar sebelumnya. Sejak itu konsep marginal, yang boleh dikatakan sebagai revolusi dalam ilmu ekonomi, makin banyak digunakan dalam analisis ekonomi.
Karya-karya Marshall diakui sebagai seorang pakar ekonomi yag sanagt ulung , dan kelebihan lain yang dimiliki oleh Marshall Beliau sangat memperhatikan nasib kaum papa , bagi Beliau ilmu ekonomi adalah sebagai alat dan sarana untuk memperbaiki kesejahteraan umat manusia .ilmu ekonoi sebagai daya untk menemukan kebenaran. Selanjutnya kebenaran tersebut menurut Marshall haruslah ditujukan pada penyebab dan obat dari kemiskinan dan kememlaratan.
Pigou adalah murid Mashall yang mengantikannya sebagai ketua jurusan ekonomi politik pada tahun 1908, Pigou adalah orang pertama yang menemukakan konsep Real Balance Effect yang kemudian lebih dikenal dengan dampak Pigou yang merupakan suatu stimulus kesempatan kerja yang disebabkan oleh meningkatnya nilai riil dan kekayaan liquit sebagai konsekwensi dari turunya harga-harga, jika nilai kekayaan riil naik, yang berdampak pada peningkata pendapatan dan terbukanya kesempatan kerja baru. Pandangan ini merupakan salah satu dasar mengapa kaum klasik dan neoklasik percaya bahwa keseimbangan kesempatan kerja penuhdapat dicapai sebgai hasil penurunan dalam tingkat upah. Karya pigou tentang teori moneter kesempatan kerja dan pendapatan nasional yang mengikuti tradisi klasik telah membawanya pada kontrofersi dengan keyness (pandanagn keyness akan didiskusikan lebih lanjut pada bab 12) walaupun mereka sering berdebat, Pigou dan keyness beserta Joan Robinson banyak memperbaiki konsep marshall terutama dalam segi permintaan.
E. Persaingan Monopolistis dan Pasar Tidak Sempurna
Pada tahun 1930-an sejumlah pakar ekonomi melakukan revisi terhadap pemikiran-pemikiran neo-klasik, terutama yang menyangkut teori pembentukan harga dan keseimbangan pasar.
Sebelum memasuki abad ke-XX pada umumnya tokoh-tokoh klasik maupun neo-klasik generasi pertama tidak pernah mempersoalkan apakah pasar dalam kenyataan sehari-hari betul-betul mencerminkan pasar persaingan sempurna atau tidak. Hal ini tidak dapat disesalkan sebab pada periode sebelum memasuki abad ke-XX kegiatan produksi pada umumnya bersifat kecil-kecilan.
Dalam situasi seperti ini asumsi pasar persaingan sempurna tidak pernah dipersoalkan. Asumsi-asumsi tersebut misalnya: 1. Terdapat banyak pembeli dan pejual, 2. Barang-barang yang dijual dipasar relatif sama dalam jenis, sifat dan mutu, 3. Tiap perusahaan bebas keluar masuk pasar, 4. Tidak ada pembeli maupun penjual yang mampu mengubah harga yang ditentukan di pasar, 5. Setiap pembeli dan penjual bertindak sebagai penerima harga (price takers), 6. Setiap pembeli dan penjual mempunyai informasi yang lengkap tentang pasar, 7. Tidak ada perbedaan biaya transpor diantara para penjual.
Akan tetapi, setelah abad ke-XX Sraffa mengamati bahwa dalam kenyataan asumsi pasar persaingan sempurna yang dianut tokoh-tokh klasik maupun neo-klasik tidak dapat diterima begitu saja. Setiap perusahaan megetahui bahwa kalau seandainya mereka mengubah keputusan output atau penawaran, harga-harga dapat berubah. Hal ini diungkapkan Sraffa dalam artikelnya: the laws of Retuns under Competitive Conditions tahun 1926.
Kemudian Chamberlin memusatkan perhatiannya pada pasar monopolistik dalam bukunya, The Theory of Monopolistic Competition, 1933. Ia menyebutkan bahwa banyak asumsi yang digunakan dalam pasar persaingan sempurna, terutama dalam produk yang homogen, yang tidak realistis. Karena tidak mungkin suatu pasar hanya memproduksi satu jenis barang saja (homogen).
Oleh karena itu, masih menurut Chamberlin, perusahaan-perusahaan pasti berusaha untuk melakukan diferensiasi pada produk-produknya guna mempertahankan perusahaannya supaya bertahan di pasar tersebut. Jika usaha itu (diferensiasi produk) berhasil maka perusahaan itu dapat memengaruhi harga-harga di pasar, dan dia dapat bertindak sebagai penentu harga (price setter), bukan sebagai penerima harga (price taker).
Dengan demikian, pasar ini sudah tidak sempurna lagi karena ciri utama dalam pasar monopolistik adalah adanya diferensiasi produk dan perusahaan bertindak sebagai price setter bukan sebagai price taker. Juga biasanya harga yang terbentuk dalam pasar monopolistik lebih tinggi daripada harga yang terbentuk dalam pasar sempurna.
Begitu juga dengan Joan Robinson, yang mempunyai analisis hampir mirip dengan Chamberlin. Namun, Joan Robinson, analisisnya lebih fokus pada pembahasan “pasar persaingan tidak sempurna (Imperfect Competition)”. Menurutnya, tiap perusahaan dalam pasar tidak sempurna memegang posisi monopoli, dimana posisi ini didapatkan dari barang-barang yang dibeli berdasarkan preferensi konsumen (Customer Preference) walaupun ada barang substitusi yang dihasilkan oleh perusahaan lain.
Dalam kenyataannya bahwa persaingan dunia pasar tidak sempurna dan membawa pada implikasi yang cukup serius terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam pasar persaingan tidak sempurna efisiensinya, sebagaimana diungkapkan Pareto, tidak bisa dicapai.
Kesimpulannya, pandangan ketiga tokoh ini bagi pengembangan teori ekonomi adalah (bagi mereka) model pasar persaingan sempurna yang dikembangkan oleh kaum klasik dan neo-klasik terdahulu hanya merupakan suatu konstruksi pemikiran yang diharapkan belaka (secara teoritis) yang kenyataannya mempunyai keterbatasan dalam kehidupan sehari-hari.
F. Games Theory dan Informasi Asimetris
Konsep Games Theory (GT) adalah suatu konsep untuk menjelaskan perilaku ekonomi dalam pasar yang hanya diisi oleh segelintir pelaku ekonomi. Landasan konsep ini sudah diterapkan oleh Cournot pada tahun 1838 dan Bertrand tahun 1883 dengan mengembangkan model aksi-reaksi dalam pasar duopoli. Model ini mulai dikembangkan lebih lanjut oleh Edgeworth pada tahun 1925 dan dikukuhkan sebagai teori melalui karya John von Newmann dna Oscar Morgenstern dalam bukunya yang berjudul The Theory of Games and Economic Behaviour (1944). Kemudian konsep GT disempurnakan lebih lanjut oleh John Nash pada tahun 1950.
Nash mengembangkan konseo GT untuk menganalisis situasi kepentingan pelaku ekonomi yang tidak berlawanan, yang kemudian muncullah istilah “keseimbangan Nash (Nash Equilibrium)”. Konsep GT Nash ini bekerja atas asumsi informasi yang simetris (tiap pemain memiliki informasi yang sama).
Dari konsep GT Nash, berkembanglah GT yang beroperasi dalam situasi informasi yang bersifat asimetris (tidak memiliki informasi yang sama terhadap satu hal) oleh John Harsanyi (1967). Kemudian GT dikembangkan lagi oleh Reinhard Selten (dari Universitas Bonn, Jerman) dalam bentuk situasi yang lebih dinamis. Menurut Selten, perubahan tindakan seorang pemain tidak hanya ditentukan oleh kenyataan peluang untuk memperbaiki posisi. Oleh karena itu, menurut Selten, frekuensi permainan akan mempengaruhi strategi permainan bagi setiap orang.
Konsep John Harsanyi dikembangan lebih lanjut oleh William S. Vickrey dan James A. Mirrless. Dengan konsep ini mereka dapat menyusun agenda bagaimana memenuhi tanggung jawab sosial pada abad XXI melalui insentif dan kebijaksanaan pajak global. Kemudian konsep ini dikembangkan lebih lanjut oleh George Ackerlof, Joseph Stiglitz dan Michael Spence. Mereka berjasa dalam membangun pondasi bagi teori umum tentang pasar dengan menggunakan informasi asimetris.
George Ackerlof adalah orang pertama yang mengembangkan teori umum tentang pasar dengan informasi asimetris. Dia menjelaskan betapa pentingnya informasi pasar dalam tulisannya yang bertajuk The Market for Lemons. Sedangkan menurut Spence, pihak yang menguasai informasi bisa memberikan isyarat kepada orang yang kurang menguasai informasi.